Rabu, 24 November 2010

Membunuh sinaran bintang



menatap langit malam terbias mendung
cahaya kota mengangkat makna
akankah gerimis meletupkan aroma tanah?
jemari kaki menghentak lembut di dinginnya malam
kuingat dimana embun rasa mulai membasahi keheninganku
ku berbisik kepada tiap-tiap hembusan angin malam
oh.. kubersandar pada impian ini!
ku terlingkupi..

disaat cerah terus membawaku bergelut dan tersentak-sentak
halus..
halus..ku memujamu!
memuja bayangmu..
memuja setiap jejak langkahmu disaat melewati jalananku
jasadmu mengudara melewati kepenatan-kepenatan ini
kuseduh tiap senyummu..
pada tetes nafas ini
dimanakah guru yang memberiku senyuman tulus?

ku terus-menerus..
memahat kilau parasmu memenuhi langit.. alam
menuntun mendung tuk merintikkan gerimis memenuhi suka cita-cinta
yang menari di atas tanah
kukecup..
kubiarkan terlena
menatapku dengan mata indahmu
berbicara dengan senyummu!

Mengintip peti mati ibuku


sebatang rokok,
dan secangkir kopi sisa semalam.
kuhisap perlahan-lahan,
kuteguk di pagi buta.

di bangku bangsal rumah sakit ini,
diantara lelah yang melekat di keringatku.
penaku masih mencoba goreskan kata di kertas pembungkus nasi,
sekedar menulis surat untuk Tuhan,
sekedar mau menyapa dan berbagi sisa kopi semalam.

dalam cangkir kopi,
kulihat matahari pucat,
sepucat wajah ibuku yang sedang terbaring menikmati infusnya.
sementara hati pucat,
notasi jantung pucat,
luka pucat,
mata pucat,
langkah pucat,
tawa-tawa itu pucat.

diam dalam kebisingan,
menerawang membungkus diri,
menatap hari bersiluet pucat.
tunggu dulu, jam berapa sekarang?
mencoba mengintip di sela jendela kamar bangsal itu,
hanya ingin tahu,
kalau-kalau ibuku terjaga,
dan minta tolong untuk menemani ke kamar mandi.

entah..
sudah berapa kali mengintip melalui sela jendela itu,
seperti melihat ibuku melalui jendela Tuhan.
syukurlah,
Dia masih belum membawa peti mati untuk ibuku,
mungkin lain hari Dia akan datang,
dan aku masih menunggu untuk itu.