Rabu, 17 Februari 2010

antara aku , renjana hati dan Netherland



Selasih : aku mengagumi gambar diri sesosok selasih yang masih setia merawat bumi..

Renjana : ketika itulah pendar mentari yang sesungguhnya menyentuh bumi..

Selasih : dan bumi selalu setia menunggu sulur-sulur lentera itu agar dapat hangatkan ladang-ladang kasih_NYA

Renjana : dan secercah asa dalam tiap berkasnya.. perlahan menghembuskan hidup..

Selasih : duhai alam dekaplah segala impi d sela palung kasihmu.. gelisah dan mencari dalam merajut usia.. di lelangit inginku basuh sulur-sulur mentari.. biar segar meraja berdansa di lantai rembulan.. ijinku petik setangkai lintang mutiaramu untuk renjana hati..

Renjana : lukiskan kisah dalam naungan fajar.. hingga terik mentari siang bersambut ayun langkah.. menyiratkan tekad dalam buaian peluh.. sang renjana hati di penantian tak pernah melepas asa darimu..

Selasih : pagut sepiku merindu letih hati.. sekian lama merangkai waktu bersandar musim.. sendiri ku kayuh biduk kecil ni.. harap segera labuhkan renjana ni d pantai cintamu..

Renjana : dalam sepi aku terjaga milyaran panah jarak membentang.. tiap untai nyanyian hati tersingkap untukmu.. bayanganmu menyusuri degup jantung.. tak berujung di penantian menepis pedih ini..

Selasih : lembar hidup yang dulunya terdera sepi.. kini berpijar tatkala sebersit senyum menyapa dingin ini.. melukis segala asa di langit hati penuh harmoni.. memjemput impian di dalam relung-relung kasihmu..

Renjana : tahukah kau !? bunga hati menyiratkan senyuman.. ketika mendapati suluhmu terus bernyala.. walau tak dapat panca inderaku menemukanmu.. temuilah aku di sudut batinmu..

Selasih : belai angin kabut putih sebersih kalbu.. dedaun mendesah prana dihela suasana.. harum ilalang bermandikan bulir-bulir embun.. dua hati dalam buaian menghantar pagi hening tenang.. semoga bersemi tersemat waktu..

BANGSAT.. ANJING !!! siapa yang mengatakan ibuku wong gendeng , siapa yang menganggap ibuku orang gila !?


Di siluet subuh itu nampak sesosok bayang lusuh menapak lirih menyusuri jalanan gang-gang tikus di daerah gubeng kertajaya, terlihat dia sedang tertatih membawa dua buah keranjang yang di dalamnya penuh dengan pakaian kotor. sekilas jejak langkah-langkah itu sedikit goyah, namun tetesan keringat yang jatuh diantara langkah-langkahnya secara tidak langsung menjelaskan bahwa dia ingin menjadi seorang wanita yang tegar nan tulus. esok harinya lukisan fajar berembun itu melintas lagi di jalanan gang-gang di daerah Surabaya timur itu, samar terdengar obrolan tukang becak yang mangkal di depan gang. mereka sedang menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok di warung kopi tempat mangkal mereka, salah satu tukang becak itu bertanya pada teman seperjuangannya di kota pahlawan itu,

tukang becak 1: sinten lare estri niku kang( siapa anak perempuan itu mas )?
saben injing kok ketingal terus lintang ngriki kalean mbeto keranjang, ketingale mbeto kumba'an nggih( setiap pagi terlihat terus lewat sini sama membawa keranjang, kelihatannya bawa pakaian ya )?

tukang becak 2: iku anake Sri seng no limo( itu anaknya Sri yang no lima ), arek iku nggowo kumba’an rusuh gune’e wong cino seng duwe bengkel ndek cedeke terowongan sepur kae( anak itu bawa pakaian kotor punyaknya orang cina yang punya bengkel di dekatnya terowongan kereta api ).
keto’ane arek iku tuhu nang ibu’e( kelihatanya anak itu berbakti pada ibunya ), sa’aken arek iku jektas dek tinggal bapake mati( kasihan anak itu barusan ditinggal ayahnya mati). peno ngerti kan Marjoko( kamu kenal kan Marjoko )?

tukang becak 1: ouw.. sumerap kang( ya aku kenal mas )! Marjoko ingkang rumiyen nyambut damel wonten bengkel celakipun terowongan sepur niku kan( Marjoko yang dulu bekerja di bengkel dekatnya terowongan kereta api itu kan )!

tukang becak 2: yo.. yo marjoko iku( ya.. ya Marjoko itu )! Sri saiki nyambot gawe dadi buruh ngumbah kumba’ane wong-wong kene( Sri sekarang bekerja jadi tukang cuci orang-orang sini ), gawe ngopeni petung anake( buat menghidupi tujuh anaknya ).

Seiring merangkaknya matahari untuk bertugas menjadi lenteranya bumi, obrolan kedua tukang becak itu hilang terbawa desir angin yang masih terasa dingin karena baru saja orang-orang selesai menunaikan sholat shubuh. kicauan burung seakan bersimpuh haturkan segala do’a kepada sang Khalik untuk sesosok bayang lusuh yang masih mencoba mengukir hamparan shubuh dengan langkah-langkah kecilnya, alunan selarik do’a itupun diamini sang ratu temaram serasa berpamitan pada sesosok bayang lusuh karena harus kembali ke peraduannya.
sang lentera siang pun sunggingkan sebersit senyum sekedar hadirkan sulur-sulurnya agar sedikit hangatkan jejak langkah sesosok bayang lusuh itu serasa titipkan do’a pada sang tanah untuk dapat disampaikan pada sang khalik.

Sesosok bayang lusuh itupun menapakkan langkah-langkah kecilnya di pelataran rumahnya. dia bergegas mencari ibunya untuk segera memberikan keranjang setumpuk pakaian kotor yang dibawanya untuk segera dicuci, karena pada malam harinya harus segera diantar kembali pada pemiliknya. sesosok bayang lusuh itupun menemani ibunya mencuci pakaian-pakaian kotor itu, walaupun wajahnya masih belum kering akan basuhan keringat peluh lelahnya. kakak-kakak perempuannya mempunyai tugas masing-masing, ada yang bertugas menyetrika, ada yang bertugas membersihkan rumah. kakak laki-lakinya bekerja di bengkel tempat ayahnya bekerja dulu.

Ketika setumpuk pakaian-pakaian kotor yang dibawanya tadi sudah selesai dicuci dan dijemur semuanya, sang ibu pun bergegas ke dapur untuk segera memasak dan menanak nasi untuk makan sekeluarga siang itu. entah kenapa sang ibu terlihat mengkerutkan keningnya serasa menghela nafas panjang, guratan gelisah sang ibu itu tanpa sengaja tertangkap pandang sesosok bayang lusuh.

waktunya makan pun telah tiba, terlihat sesosok bayang lusuh itu sedang bercengkerama dengan saudara-saudaranya setelah lelah mengerjakan tugas masing-masing. sesaat cindai tawa itupun berhenti tatkala ibu datang membawa beberapa makanan, ibupun membagi makanan itu untuk beberapa piring sambil berkata lirih memberat di hela nafas.

“ ndok.., mangan sak anane yo dino iki( anakku, makan seadanya ya hari ini ).
cacakmu mambengi mancing nang kali gak oleh iwak( mas kalian tadi malam memancing di sungai tidak dapat ikan ),
dino iki mangan sego karak ambek uyah ae yo( hari ini makan nasi sisa yang sudah dikeringkan sama garam ya ). dungakno engkok bengi cacakmu oleh iwak seng akeh!( doakan nanti malam mas kalian dapat ikan yang banyak! )“

Seiring berjalannya sang waktu merajut umur bumi beserta segala isinya, sesosok bayang lusuh pun merangkak usianya di umur 15 tahun. di umur itu, sesosok bayang lusuh dilamar seorang laki-laki yang bekerja di instansi pemerintah. sesaat hati sesosok bayang lusuh berbunga senyum, karena segala hamparan doanya terkabulkan dengan pinangan seorang pegawai negeri sipil walaupun masih belum diangkat. semburat senyum bangga tersuguhkan dalam pelukan ibu terkasih.

Dalam merajut bingkai perkawinan itu, ternyata tidak sepenuhnya sama dengan apa yang terlarik dalam cerita rama dan dewi sinta, sesosok bayang lusuh menemukan sosok suami yang ringan tangan. dalam menapaki hari-harinya, sesosok bayang lusuh tidak hanya mendapatkan bingkisan sebuah tamparan, tendangan, tinju dari tangan seorang laki-laki yang kodratnya lebih kuat darinya. di setiap detak jantungnya, di setiap helai nafasnya, di setiap denyut nadinya, di setiap aliran darahnya, dia mendapatkan cambukan yang menyayat hatinya nan lugu.

Dengan conkaknya laki-laki itu berjalan di atas hati yang setiap saat tersayat olehnya, bercumbu mesra dengan wanita-wanita binal yang tidak tahu harga setetes air mata kedukaan kalbu. walaupun oase di kedua matanya yang sudah tidak bisa lagi menitikkan bulir-bulir lara hatinya, sesosok bayang lusuh itu tetap setia menunggu sang suami untuk sekedar makan malam bersama. dia tidak akan makan sebelum suaminya datang, walaupun sepenggal tulang rusuk itu menyapa di saat sang pujangga pagi( ayam jago ) mengalunkan nada-nada menyambut sang subuh. dia tetap tidak mau makan walaupun setangkai usus-ususnya sudah marah kepadanya, tulang dagingnya sudah tidak mampu menahan derai air mata kalbu pikirnya. dia tetap tidak mau makan, sebelum dia bisa sekedar melayani permintaan sepenggal tulang rusuknya untuk sebuah baskom cuci tangan.

Sayatan-sayatan itu tidak hanya berhenti di sisi ruang itu saja, di satu ruang tatkala sesosok bayang lusuh itu sedang mengandung tua hitung 9 bulan, dia mendapatkan satu cambukan yang seharusnya tidak pantas didapatkan seorang istri yang sebentar lagi akan menghaturkan bingkisan tanda kasih pelaminan kepada sang suami tercinta.
entah setan mana yang menjelma di sosok sepenggal tulang rusuk itu, di saat bulir-bulir embun masih bercengkerama dengan ilalang rerumputan di ladang pelaminan. sesosok bayang lusuh itu dimandikan sang suami dengan minyak tanah berkeramas caci maki, hati nan lugu itupun masih mencoba untuk tetap tersenyum membungkus segala lara hatinya.

hari berganti hari, lelangit semburatkan kawanan mendung, permata-permata temaram pun tak terlihat kerlingan-kerlingan manjanya lagi, katak dan jangkrik pun tidak mengalunkan senandung lirihnya berhiaskan kunang-kunang. sesosok bayang lusuh pun mencoba selipkan tanya pada sehelai angin,
“ gerangan apakah hingga kalian semua berubah kepadaku, yang kutahu kalian selalu setia temani lipur segala lara hati ini?”
kawanan mendung itupun turun perlahan memeluk lara hati itu serasa berbisik lirih,
“ kita semua masih setia temani segala lara hatimu duhai hati nan lugu“, tak terasa kawanan mendung itu menitikkan bulir-bulir air matanya yang sudah lama tertahankan.
“ jangan bersedih duhai alam, aku masih terus mencoba bertahan dengan segala lara hati ini. kita semua tidak tahu kehendak sang khalik atas semua ini, maka tersenyumlah dan genggam erat jemari-jemari kecilku ini! karena aku membutuhkan kalian di sampingku!“

Disaat sang waktu merajut umur kandungan sesosok bayang lusuh itu mendekati 12 bulan, sesosok bayang lusuh itu melahirkan seorang bayi laki-laki merngil lagi lemah.

“Segaraning ati”, lirih namun pasti bisik hati larikkan setangkai doa dalam sebuah nama pada timang kecilnya. harap dalam bersimpuh haturkan segala doa pada sang khalik, “semoga pemberian bingkisan kecil_MU ini bisa membantuku dalam membuat sebuah samudera di dalam hatiku“.

Dalam belai timang penuh kasih hati nan lugu, terlampir harap cita cinta,
“ Menapak kaki mungilmu dalam jejak langkah nan putih..
Mungil sedikit goyah dalam setiap rajutan hari-harimu..
Merangkak tertatih selalu mencoba meraih cita..
Semburatkan bangga terbersit senyum keluargamu..
Harapan memadu ketika engkau besar nanti..
Menuju cita menggenggam asa..
Taklukkan dunia dengan langkah-langkah mungilmu..
Berpijarlah.. hangatkan segala harapan ibumu..
Pancarkan selalu dari bola mata tak kenal lelah untuk segala doa..
Tak kenal lelahku dalam seduhkan kasih di relung hatimu..
Tidurlah.. tidur biduk lintang samudera hatiku..
Jangan dulu terjaga sampai pagi tiba menjemput lentera siang..
Engkaulah jadi alasan hingga kupacu semangat hidup simpan segala harapan..”

Dalam merajut usia di bingkai cita-cinta, saujana segaraning ati tersuguhkan bahwa ibunya sudah merasa kedua oase mata hatinya sudah tidak mampu lagi menitikkan bulir-bulir air mata lara hati. tulang dagingnya sudah tidak mampu lagi menahan tonggak sayatan yang terukir semenjak pelaminan terbingkai, sesosok bayang lusuh itupun terlihat bagai mayat hidup yang tidak bisa tidur berbulan-bulan lamanya. terdengar lirih ratapan kulit di wajahnya karena lelah yang sudah sekian lamanya tidak merasakan nikmatnya tidur. bola mata yang dulunya binarkan kecantikan nan lugu, kini terlihat cekung palung tangisan. sesosok bayang lusuh itupun telah lupa apa itu siang dan apa itu malam. ketika semua selasih-selasih bumi terbuai segala labirin impi di dalam peraduannya masing-masing, sekilas saujana segaraning ati tersuguhkan dalam duduknya menemani ibunya yang sedang menyapu jalan raya di depan rumahnya sampai pagi menjemput sang matahari. terkadang hanya terlihat duduk merenung berbalut air mata di pinggir jalan sampai sang surya telah duduk di singgasananya, satu waktu hanya kekosongan yang tersaputkan dalam kanvas wajah sesosok bayang lusuh yang terbingkai berhari-hari lamanya.

Tak terasa segaraning ati menitikkan bulir-bulir air mata atas saujana yang tersuguhkan di hadapannya, walaupun saujana itu telah ia saksikan sekian lamanya. lirih terdengar dalam kalbu segaraning ati terlarik doa dan permohonan pada sang khalik,
“ duhai Dalang yang berkehendak atas semua cerita lakon lelaku kehidupan fana ini, Sang ulu-ulu yang menentukan aliran sungai takdir semua selasih kehidupan ini. berilah hambamu ini sebuah kekuatan genggaman tangan, untuk sekedar meraih jemari ibu hamba dalam menjalani lara hatinya. selalu tegakkan kedua bahu hamba untuk sandaran bulir-bulir air mata ibu hamba”.

Tetapi bayangan-bayangan di sekitar segaraning ati tidak mau menemaninya dalam menyelami semua saujana itu, mereka menganggap sesosok bayang lusuh itu orang yang sudah tidak waras lagi. mereka menggunjingkan bahwa sesosok bayang lusuh itu orang yang sudah gila.. “Wong Gendeng“.
teriak murka segaraning ati atas semua itu,
“ bangsat..!! anjing kalian..!!!
siapa yang mengatakan ibuku wong gendeng, siapa yang menganggap ibuku orang gila!?
apa kalian mau menjawabnya dengan darah-darah kalian! ketahuilah wahai selasih-selasih sombong merakmu, ibuku adalah malaikat yang menjelma di rinai fana ini untuk melahirkan aku dan berusaha rajutkan aku sebagai setangkai bunga padi bermahkota keemasan".
tapi semua amarah teriakan itu hanya sebatas mencakar-cakar langit-langit hatinya sendiri, sejenak tersadar segaraning ati akan semua petuah bijak yang telah terseduh di palung hatinya dalam timang merajut usia,

“ anakku, buatlah dan jadikan hatimu sebuah samudera di dalam merajut umurmu!
kita hanya sebuah kapas yang hanyut dalam derasnya aliran sungai, yang membawa kita semua di mana kita tidak pernah tahu muara mana yang akan kita temui. dalam perjalanan menuju muara-muara itu, terkadang kita terjatuh di dalam deru air terjun, terbentur bebatuan, tersangkut cecarang tumbuhan, kadang kala kita di ludahi, di caci maki sebagai bajingan.. pencuri.. pelacur.. bencong.. idiot, dan kadang kita dilempari tahi oleh merak-merak congkak kemunafikan fana ini. Kita tidak bisa kembali melawan arus aliran sungai yang telah berkehendak dan tertulis muara-muaranya, kita tidak punya suatu daya apapun atas semua itu. Kita hanya bisa ikuti aliran sungai itu dan pasrah di manapun kita akan bermuara.





* selarik lara hati Segaraning Ati *